Otto Hasibuan Kaget, Pemerintah Beli Saham Rp55,8 Triliun. Lha, Freeport Itu kan Kontraknya Tergantung Pemerintah?

Otto Hasibuan Kaget, Pemerintah Beli Saham Rp55,8 Triliun. Lha, Freeport Itu kan Kontraknya Tergantung Pemerintah?
Otto Hasibuan

JAKARTA (RIAUSKY.COM)-  Pembelian 51 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) oleh Pemerintah diduga berpotensi merugikan negara.

Demikian disampaikan Pengacara Otto Hasibuan kepada Kantor Berita Politik RMOL, sesaat lalu Senin, (24/12/2018).

Menurut Otto pemerintah harusnya sabar menanti berakhirnya kontrak karya PTFI yang berakhir 2021. Sebab, kalau pemerintah tak memperpanjang maka Freeport bisa dimiliki Indonesia.

Hal itu, sambung Otto, ada dalam klausul Kontrak Karya (KK) Freeport yang sudah berjalan ini. 

"Ketika Tim Peradi diminta menjadi konsultan oleh Menteri Jonan, kami baca ada klausul dalam KK yang menyatakan perpanjangan KK tergantung persetujuan pemerintah. jadi tak ada alasan pemerintah membayar mahal," ungkap Otto.

PT Inalum (Persero) pekan lalu Jumat, (21/12/2018) resmi membeli sebagian saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Nilai transaksi mencapai 3,85 miliar dolar AS atau setara Rp 55,8 triliun. 

Dengan begitu, kepemilikan saham Indonesia atas PTFI meningkat dari 9 persen menjadi 51 persen.

Resminya pengalihan saham tersebut ditandai dengan proses pembayaran dan terbitnya Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK) sebagai pengganti Kontrak Karya (KK) PTFI yang telah berjalan sejak tahun 1967 dan diperbaharui di tahun 1991 dengan masa berlaku hingga 2021.

Menanggapi langkah pemerintah tersebut, mantan Ketua Umum Peradi ini mengaku kaget.

"Saya kaget ketika pemerintah mengeluarkan dana triliunan untuk membeli saham 51 persen Freeport," demikian Otto.


KPK dan BPK Diminta Audit

Sama halnya dengan Otto, aktivis senior Syahganda Nainggolan menduga ada potensi kerugian negara dalam pengambilalihan saham dengan nilai Rp 55,8 triliun tersebut. Pasalnya, terdapat dua bukti otentik yang sudah mengarah terjadinya kecurangan. 

Pertama, rekaman video terkait pengakuan Luhut Binsar Panjaitan yang ketika masih menjabat Menko Polhukam dalam skandal 'papa minta saham' saat memberikan keterangan di Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI.

"Dia (Luhut) mengatakan bahwa itu prinsipnya milik bangsa Indonesia. Kalau ditunggu 2021 maka itu otomatis menjadi milik Indonesia seperti halnya Mahakam. Ini yang ngomong adalah pemerintahan resmi rezim Jokowi, bukan orang lain," jelasnya kepada wartawan di Kawasan Cikini, Jakarta, Senin (24/12).

Menurut Syahganda, pengakuan Luhut tersebut sekaligus membantah kalau perjanjian kontrak karya (KK) II Freeport terdapat klausul yang menjerat bahwa Indonesia harus dan terpaksa memperpanjang kontrak sampai 2021.

Bukti kedua yakni pengakuan Rizal Ramli saat menjabat menko kemaritiman dan sumber daya. Yang mana Rizal Ramli mengungkapkan bahwa pada 30 Desember 1991 saat KK ditandatangani untuk masa berlaku 30 tahun hingga tahun 2021, Ginandjar Kartasasmita selaku menteri pertambangan dan energi diduga kuat menerima suap dari Freeport dalam bentuk saham.

"Maka dia cacat hukum. Si James Robert Moffett yang punya itu (Freeport) melakukan penyuapan. Dia sudah mengakui dan dia akan memberikan kompensasi. Nah artinya itu ada kejahatan korporasi. KPK dan BPK harus melakukan audit investigasi. Kenapa harus dibeli, siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan. Menurut saya bangsa ini dirugikan," papar Syahganda yang juga direktur Sabang-Merauke Circle (SMC). [wah]


Pemerintah bisa saja tidak memperpanjang Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia (PTFI) yang akan berakhir pada tahun 2021, sebagaimana KK generasi kedua yang ditandatangani 30 Desember 1991.

Dengan tidak memperpanjang, pemerintah bisa langsung mengambil alih perusahaan milik Amerika Serikat itu tanpa biaya sepeserpun uang saat kontrak habis.

Begitu kata ekonom senior, Ichsanuddin Noorsy kepada wartawan di Kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (24/12/2018).

Menurutnya, hal tersebut bisa dilakukan jika pemerintah mampu membuktikan PTFI telah melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum. Salah satunya, pelanggaran hukum tentang laporan deep mining (penambangan dalam) PTFI.

Sebab, ada perbedaan antara laporan ke bursa saham di Amerika Serikat New York Stock Exchange dengan laporan yang disampaikan ke pemerintah Indonesia. 

"Yang kedua, pelanggaran atas pemakaian hutan lindung (sebagai lahan tambang)," sambungnya.

Selanjutnya, tentang pelanggaran atas pembuangan limbah tambang atau tailing yang merusak lingkungan di sekitar tambang emas itu.

Pun kata Noorsy, pelanggaran pembuangan tailing itu secara tak langsung diakui sendiri oleh PTFI dengan melakukan pembayaran kepada pemerintah Provinsi Papua dan Mimika sebesar Rp 350 miliar.

"Kan sesungguhnya sudah terjadi pelanggaran hukum. Dengan alasan pelanggaran hukum itu sesungguhnya tidak ada kewajiban pemerintah untuk memutuskan Kontrak Karya 1997 dan memperbarui dengan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Nggak perlu, karena tadi ada itikad tidak baik dari Freeport," jelasnya.

Hal itu menurutnya diperparah dengan pengakuan mantan Menko Kemaritiman, Rizal Ramli. RR, sapaan akrabnya mengungkapkan adanya dugaan suap kepada menteri di era Soeharto sehingga pada 30 Desember 1991, kontrak Freeport diteken untuk perpanjangan selama 30 tahun hingga tahun 2021.

"Jadi sesungguhnya ada empat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Freeport," pungkasnya.(R04/rmol)

Listrik Indonesia

Berita Lainnya

Index